June 10, 2018

feminisme ala ala

bukan, saya bukan penulis. oleh karnanya, jangan berharap kalau tulisan saya penuh dengan rangkaian kata indah dengan ejaan dan frasa yang dibenarkan. saya hanya menulis seadanya aja. seenak jidat sih tepatnya

kalau untuk sore ini, walau bukan tengah malam, saya mau berdiskusi dengan kata feminisme,
gugel says,
feminisme adalah sebuah gerakan dan ideologi yang memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dalam politik, ekonomi, budaya, ruang pribadi dan ruang publik.
yang artinya kalau dari pemahaman simpel ga neko-neko saya,
feminisme maunya perempuan = laki- laki
tapi masalahnya buat saya perempuan itu ngga sama dengan laki-laki :/

bukannya saya bilang kalau perempuan memang derajatnya dibawah laki-laki atau sebaliknya loh, atau juga perempuan memang kaum tertindas dan lemah (trust me. i grow up with my mom).
dan buat yang suka baca ocehan- ocehan ga jelas saya di path tentang perempuan, pasti tau kalau saya sama gerakan-gerakan feminisme tu semacam ‘aku padamu banget’ because i do believe in smart and strong independent woman

tapiii,
barusan saya baca beberapa artikel #misoginisquadforlyfe (ngga, itu hashtag asal doang hahhaa) tentang hari libur untuk haid.
terus ya gtu dong, pada debat mengajukan banding,
kalau cewe punya hari haid, yaudah dong cowo juga boleh punya hari mimpi basah.
nah loh,
yang pusing siapa? ya bos nya lah yah. karyawan doi pada cuti semua yaowoh, belum kalau ternyata pas bosnya juga mimpi basah atau haid. jengjeng.

sebelum baca artikel ini, saya pernah dengar sih kalau di beberapa perusahaan juga menetapkan kebijakan serupa mengenai hari haid untuk perempuan dari salah satu kolega saya. dan di perusahaan tempat saya bekerja saat itu ‘kan tidak menetapkan kebijakan serupa, jadi dong kolega saya mencak-mencak. dan saya hanya terdiam saat itu. memang sih enak juga kalau ada libur out of the blue ‘gitu. tapiiiii alasannya kok ga unyu ya? cuti karena haid.

bukannya saya tidak tau menahu kejamnya si haid ini loh. selain setahu saya bahwa saya juga bisa diklasifikasikan sebagai perempuan, yang mana dimana implikasinya saya juga sering kedatangan si bulan, si haid saya ini juga selalu totalitas kalau datang. ibarat kata, belum demam semalam artinya si haid belum rela balik ke bulan. bete kan?
tapi, siapa hayoo yang katanya mau setara dengan laki-laki? ://

kalau untuk saya pribadi,
haid atau datang bulan tidak sebaiknya dijadikan landasan untuk mewajibkan perusahaan memberikan jatah cuti khusus bagi perempuan. karena kalau kita mau bicara profesionalitas kerja dengan menyelipkan feminisme di dalamnya, ya si gender jangan dibawa- bawa lagi dong. kan sudah sama; setara.
kecuali kalau subject memiliki kondisi kesehatan yang spesial, seperti selalu kejang-kejang kalau haid, taruhan sama saya kalau perusahaan akan dengan senang hati memberi jatah libur tiap si subject datang bulan. ngga mungkin juga kan, orang udah kelepek-kelepek berbusa di lantai masih disuruh bikin gambar kerja atau tagihan?

(by the way, sadar ngga kalau saya tiba-tiba mengganti kata perempuan dengan subject? memang saya sering typo, tapi kali ini ada alasannya., karena menurut saya kondisi spesial bisa terjadi pada siapa saja, laki-laki maupun perempuan. terlepas dari kaitan si gender)

oleh karena itu adik-adik manis yang lagi mau apply ke perusahaan, jangan suka bohong ya di test kesehatan perusahaan. kalau suka ayan ya mbok bilang aja. percaya, Tuhan sayang sama orang yang jujur. Tuhan ya, bukan perusahaan tempat kamu apply.

issue yang kedua,
juga saya dapat dari salah satu kolega saya dengan nama yang harus saya samarkan. bukan apa, soalnya kolega saya yang ini galak ga ketolong lagi. harga dirinya juga lebih besar daripada pasak yang lebih besar daripada tiangnya. jadi kita sebut saja doi si macanz

di suatu siang, saya harus pergi belanja aksesoris untuk tahap finishing proyek rumah contoh di salah satu mall. belanjaan saya memang lumayan banyak. ada tempat tissue, lilin, lampu baca, lampu gantung, kursi, bahkan meja makan (jengjeng)
nah kebetulan saya parkir rada jauh dari pintu masuk mall tersebut. dan karena belanjaan saya lumayan banyak saya terpaksa (dengan sepenuh hati) minta tolong masgan (baca : mas ganteng) tempat saya belanja untuk bantu saya ikut bawa barang belanjaan ke mobil.

sampai di kantor saya cerita soal masgan ke macanz. komentarnya hanya satu, kok ga parkir di ladies parking aja sih? maklum ya, doi memang saat itu lebih prefer kokoh- kokoh kimchi dan japchae daripada masgan-masgan.

saya terdiam soalnya memang tidak terlintas di pikiran saya untuk parkir di ladies parking. tapi sesaat doang, udah dasarnya bawel ya ga bisa dong diam lama-lama.
“tapi males ah gw ga tralu setuju sama yang namanya ladies parking. elder parking tuh atau disable parking masih makes sense. kaya lady-lady ga bisa jalan jauh aja” itu komentar saya saat itu yang langsung dismash balik sama macanz.
“duh laaa, bego banget sih. udahdikasih enak ngapain susah-susahindiri sendiri?”
“tapi bukannya lu termasuk penganut paham feminisme? emansipasi wanita? ladies parking emang termasuk emansipasi wanita?”
jawaban macanz hanya satu,
“yaudah sih. gausah munafik, lo juga pasti kalo disuruh milih parkir di mana pasti parkir di tempat yang lebih deket? ngapain pusing. feminisme ngga pusing masalah gituan olaaa”

kesimpulan yang bisa saya tarik dari percakapan ga penting sore itu,
1. saya benci dibego-begoin apalagi dikatain bego. lemot iya, tapi ga bego. (tetep)
2. saya ngga munafik, perdetik ini saya belum pernah parkir di ladies parking. (selain memang selalu penuh, kayanya, buat saya, lari 10 km aja ga bikin saya kurus apalagi parkir di tempat publik yang jauhnya ga sampai 1 km? slot saya saya ke kasih ke yang lebih butuh aja. cukup doain saya cepat kurus)
3. feminisme itu macam pilih kasih. saya jadi ilfil :/

--

kembali ke main point saya di atas,
bahwa buat saya perempuan itu ngga sama dengan laki-laki
mungkin semakin pintar manusia, semakin ribet pula hidupnya. jaman om pithecanthropus tu manusia hidup damai rukun sentosa. memang rada- rada barbar suka main tendang gelinding, tapi antara laki-laki dan perempuan sudah jelas pembagian pekerjaannya. laki-laki berburu makanan, yang perempuan jaga rumah sambil ngerujak. bukannya saya mau kembali ke jaman barbar. hanya saja, menurut saya manusia purba itu hidupnya ga neko-neko. yang standart- standart aja yang penting bisa hidup sampai besok, lalu besok, lalu besoknya lagi.

maksud saya dari ilustrasi di atas adalah,
tidak bisa dipungkiri bahwa jaman sudah berubah. kalau lagi ngga senang juga sudah tidak bisa main lempar kapak atau patung tembaga. sekarang laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk menuntut ilmu, memberdayakan kemampuan dan potensi yang dimilki, serta mengejar ambisi cita-citanya. hanya terkadang manusia millenium suka lupa akan akar atau basic survivalnya.

ada yang bilang kodrat, ada yang bilang memang dari sananya, ada juga yang bilang yaudah nasib terima aja. tapi kalau untuk saya, jadi laki-laki atau perempuan seperti sebuah puzzle.

orang juga tau kutub positif harus ketemu yang negatif baru ketje. kalau positif positif kan ga uu.
(sebelumnya artikel ini tidak berkaitan dengan issue perihal LGBT ya. ini dan itu adalah dua topik yang berbeda yang akan dibahas pada post yang berbeda pula :))
nah. menganut paham feminisme ataupun tidak, saya sadar kalau saya perempuan. dan sebagai seorang yang masih belajar menjadi seorang wanita, masih banyak yang harus saya pahami pelan-pelan, mengenai kekurangan, kelebihan, hal-hal unik yang ada pada seonggok ola. maksud saya seorang.

tapi dengan belajar memahami diri sendiri, saya jadi mengerti kekuatan saya sebagai seorang perempuan. bagaimana memaksimalkan hal positif, dan atau mengubah yang kurang menjadi hal yang lebih positif. (engga, bukannya contoh nih udah tau pendek udah tau bulet, terus pas ngaca bilangnya yaampun semampai dan indah sekali diri ini, itu kan namanya PENIPUAN ke diri sendiri ya. tapi jadi oh okee, kalau pendek kan berarti punya alesan beli heels yang cantikk :p terus kalau bulat yaudah berarti memang saatnya ditch itu garrets caramel dan kue ape sama sayur dan buah atau belajar masak mungkin)

dan saya rasa ketika pemahaman mengenai diri saya sendiri sudah selevel hokage, saya tidak perlu berlindung di bawah bendera feminisme. saya tidak mau menjadi perempuan yang menyerukan penyetaraan tapi kalau mau ganti ban mobil manja-manja bilangnya tapi gw kan ceweeeeeee lu kan cowoooooo lebih ngerti mobil. ga mau jadi perempuan yang menuntut penyetaraan tapi kalau parkir maunya di ladies parking cuma karena malas jalan.

saya memang lebih mengerti gizi dan vitaminnya bayam sama kacang hijau ketimbang sparepart mobil. lebih ngerti novel chicklit dibanding world cup. ngerti sih, ngerti yang mana yang ganteng yang mana yang ketje

perempuan yang bisa weight lifting cadaz,
yang bisa ganti ban mobil sendiri ketje
yang bisa nangkep maling sendirian amaayyyzinggg,
tapi kalau mutlak harus bisa? ngga toh menurut saya

laki-laki bisa masak? ketjee,
bisa nyuci baju nyuci piring? gantengs,
ngelahirin anak kasih asi eksklusif? sembah sujud
tapi mutlak harus bisa? ngga juga toh menurut saya

kan udah ada bagiannya. jangan ngoyo deh kalo kata papi.

oyaa, buat yang bingung jadi saya penganut feminisme atau bukan,
harusnya sih bukan ya.
soalnya saya lebih suka sama paham partnership.

because my life purpose is not finding the one who’s same with me.
but the missing puzzle to complete mine. eaaa.

udah ah.
thank you yang udah baca sampai akhir. i appreciate your effort to understand dis bizarre thoughts of mine. emang rada-rada ga jelas. cuma si ola emang gitu, yang jelas di dia cuma obsesinya sama kue ape atau kacang ijo madura tanpa kuah tanpa roti tanpa ketan item.

dedicated to my mom the real boss woman (no kidding yo), and my dad who loves the boss so so badly

one fine afternoon / march, 28th

No comments:

Post a Comment